Tepuk diam - TK Ahza Nazifa
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tepuk diam




Jika sudah waktunya, masukkanlah mereka ke sekolah usia dini yang mengajarkan tentang
klasifikasi warna-bentuk-ukuran, ciri-tanda-sifat- habitat, sebab-akibat, fungsi-manfaat. Bukannya
taman kanak-kanak yang memaksa anak untuk segera bisa membaca dan menulis, dan bahkan
berbahasa Inggris, sementara bahasa ibu dan bahasa Indonesianya diabaikan.

Sekolah anak usia dini yang menggunakan metode pengajaran yang benar adalah yang membuat
anak-anak bahagia, dan mendorong mereka untuk menemukan sendiri pengetahuan dasarnya melalui
berbagai kegiatan main bebas dan main dengan aturan. Bukan memaksa mereka untuk duduk
manis dan diam, dan menyuruh mereka tidak bergerak dengan berbagai tipuan “tepuk diam” atau
“tepuk anak soleh.” Sebab, terus bergerak adalah merupakan fitrah anak-anak usia di bawah tujuh
tahun sesuai dengan tahap perkembangannya, sebagaimana yang dipetakan oleh Jean Piaget.
Jadi, memaksa mereka untuk duduk diam selama beberapa jam adalah dzolim!

Anak-anak perlu bergerak untuk belajar memahami dan berkomunikasi dengan dunia melalui panca
indranya. Mereka perlu membangun seluruh kecerdasan jamaknya sebagaimana yang
dirumuskan Howard Gardner (logik-matematik, bahasa, tubuh, ruang, intrapersonal, interpersonal,
musikal, natural, spiritual). Anak-anak harus dibangun kepercayaan dirinya (dengan tidak selalu
memarahinya). Dibangun inisiatif dan semangatnya untuk bereksplorasi (dengan tidak selalu
menyuruhnya). Dibangun keberaniannya untuk berekspresi, bereksperimen, dan belajar dari
kesalahan (dengan tidak selalu melarangnya).

Kita pun punya konsep pendidikan yang bagus dan mampu melewati zamannya yang diterapkan
Ki Hajar Dewantara di Taman Siswa. Tiga filosofinya yang terkenal adalah fondasi bagi para guru dan
orangtua untuk membangun kecerdasan anak dan karakter yang kuat: Di depan memberi teladan
(ing ngarso sung tulodo), di tengah membangun semangat (ing madya mangun karsa), di belakang
memberikan dukungan (tut wuri handayani). Bahkan, pada 1903, dalam usia 24, RA Kartini
sudah memiliki pandangan yang kukuh dan bernas tentang pendidikan. Katanya, ibu adalah “pendidik
pertama umat manusia. Di pangkuannya, anak pertama-tama belajar merasa, berpikir, berbicara...
Tangan ibulah yang pertama-tama meletakkan benih kebaikan dan kejahatan dalam hati manusia,
yang tidak jarang dibawa sepanjang hidupnya.

Tidak tanpa alasan orang mengatakan bahwa kebaikan dan kejahatan diminum bersama air susu
ibu.” Kartini menegaskan: “Pendidikan yang baik bukan yang semata-mata didasarkan atas kecerdasan
otak, melainkan yang sungguh-sungguh memperhatikan pembentukan akhlak pula…Tanpa pembentukan budi pekerti, pengajaran yang terbaik tidak akan menghasilkan buah yang sangat diharapkan dari pendidikan itu.” Maka, bapak, ibu, bangunlah anak-anak kita dengan pola dan cara yang lebih baik. Jangan belenggu anak-anak kita dengan kurikulum yang dibuat oleh pemerintah secara tergesa-gesa. Bangunlah jiwa dan raga
anak-anak kita secara merdeka. Untuk Indonesia kini dan esok![] (KOMPAS 12 Januari 2015).

Oleh Yudhistira A. Massardi

Posting Komentar untuk "Tepuk diam"